Banten || Corongkita.com – Ibarat binatang buas yang sudah bisa dijinakkan, maka pelepasan itu bukan berati pemecatan, karena esensinya adalah pembebasan. Sebab binatang liar itu tidak mempunyai kekuatan dan nyali apa-apa yang tidak lagi menakutkan. Maka dia bisa dilepas bebas untuk berbuat sekehendak hatinya, karena sudah tidak lagi bisa apa-apa dan yang lebih penting tidak lagi membahayakan bagi kelangsungan hidup makhluk yang lain.
Ikhwalnya, semacam binatang buas yang tidak lagi bertaring. Atau semacam ular berbisa yang yang sudah lumpuh kebisaannya. Jadi, kalau masih bernafsu ingin menggigit, tak lagi akan menimbulkan dampak apa-apa. Persis seperti makanan gadung yang tumbuh liar fi hutan, setelah bisa diredakan kadar racunnya, maka dia bisa dibuat apa saja sejenis kripik pisang meski tak perlu dibuat manis. Hingga terasa gurih dan renyah kalau mau dikunyah seperti makanan perkedel yang sungguh empuk dan mudah dicerna hingga kemudian dibuang semacam kotoran lain ke water closet.
Ibarat ayam petelur yang tidak lagi produktif, memang pantas dan patut disembelih dijadikan ayam sayur agar tak lagi menjadi beban memelihara ayam sekandang lainnya yang perlu diurus dengan baik dan cermat, supaya kelangsungan hidup dapat berlangsung normal dan pulih dari tanggungan beban biaya yang mahal. Maka itu wajar banyak orang memburu binatang liar itu untuk dijadikan tumbal semacam untuk meruat bumi. Supaya bencana tidak kembali melanda menimbulkan derita dan kesengsaraan orang banyak.
Kesadaran alam ini merupakan naluri yang hidup yang perlu dan terus terpelihara dalam tradisi warisan leluhur. Sebab bencana dan kehidupan, kata WS Rendra penyair besar bangsa Indonesia kelahiran Solo dan besar dalam budaya kesenian di Yogyakarta — sesungguhnya sama saja. Sebab bencana itu semacam sunnatullah dari kekuasaan Tuhan yang hendak dibajak oleh keserakahan manusia.
Begitulah nilai-nilai religius dan nuansa spiritual yang menyatu dalam diri manusia Nusantara. Sehingga acap dimengerti sebagai perwujudan dari makna dan hakikat manunggaling kawulo lam gusti. Padahal, arti sederhananya karena Tuhan itu sendiri ada di dalam diri manusia, seperti yang terurai dalam ayat-ayat diri dari setiap organ tubuh manusia yang mampu dibaca sebagai isyarat dari Kebesaran Tuhan yang tak perlu disaingi, sebab kemampuan manusia sungguh terbatas, sekedar mendekati sifat dan sikap Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang sebatas kemampuan yang sungguh terbatas.
Karena kesombongan dan kejumawahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi, manakala upaya pengembaraan dari laku spiritual mampu dipelihara guna mengasuh etika, moral dan akhlak agar tidak liar dan buas diumbar hanya untuk memuaskan hawa nafsu serta birahi diri sendiri. Sebab hidup dan kehidupan yang sejati itu adalah milik orang banyak, bukan milik nenek moyang kita kita sendiri.
Begitulah maknanya bencana dan kehidupan, seperti kehidupan dan bencana itu sendiri, kata sastrawan WS. Rendra, sama saja. Seperti yang memecat dan yang dipecat, adakah pembebasan dari sikap dan sifat saling ketergantungan antara yang satu dengan yang lain. Lalu mengapa tidak, pemaknaan dari pemecatan itu dapat dipahami sebagai bentuk pembebasan dari saling silang ketergantungan oleh satu pihak dengan pihak yang lain. Artinya, dalam rumus relativitas Einstein itu, makna pemecatan itu tidak hanya bermakna pembebasan dari yang memecat, tapi juga kebebasan dari yang dipecat serta pembebasan bagi pihak lain yang selama ini merasa terbelenggu dalam perseteruan antara individu yang berdampak kepada pihak lain.
Banten, 19 Desember 2024