Berita  

Jacob Ereste : Janji Adalah Hutang Seperti Makna Pesan Ayat-ayat Suci yang Diturunkan dari Langit

Banten || Corongkita.com – Janji yang kadaluarsa itu, seperti obat yang tak lagi patut dikonsumsi. Biarlah dia diterbangkan angin seperti awan yang lepas bebas dilangit. Sebab semua jenis barang yang akan dikonsumsi tidak lagi diperlukan. Apalagi bila sudah kadaluarsa masa berlakunya. Jika pun tetap ingin dikonsumsi, boleh jadi dia akan menjadi racun bagi tubuh yang sudah pulih dari janji yang kecewa akibat angin sorga yang telah dihembuskan.

Janji itu memang terhembus seperti angin surga dengan segenap fantasi keindahan yang menggiurkan. Bahkan acap membuat mabuk kepayang bagi yang bersangkutan. Layak remaja yang tengah digulung cinta. Lupa akan ada kekecewaan yang banyak menghadang. Maka itu, akibat dari putus cinta bisa jadi bunuh diri.

Pada tahapan inilah, keimanan yang dibekali oleh agama harus bertarung mengalahkan gejolak egosentrisitas yang tidak terkendali. Maka laku spiritual yang bisa dibangun sejak usia muda sangat diperlukan. Agar keyakinan terhadap kemurahan serta cinta kasih Tuhan itu tidak terbatas. Tentu saja utamanya bagi yang percaya (beriman) sambil memperbanyak do’a dan usaha. Sebab berdo’a saja — tanpa usaha — seperti ide atau gagasan yang tidak pernah diwujudkan. Masalah tak berhasil pun harus dapat dipetik hikmahnya. Minimal kesadaran kita untuk melakukannya telah menjadi pengalaman baru, daripada tidak pernah sama sekali melakukannya.

Janji dan harapan besar seperti dua sisi dari mata uang (gobang) yang tidak terpisahkan. Karena itu — janji acap dipahami oleh banyak orang semacam hutang yang harus dituntaskan, agar tidak mengganjal jalan menuju surga. Kecuali itu, karena janji pula harapan terus bertumbuh dengan optimisme dan pesimisme yang terkadang seperti badai berkecamuk di lautan bebas seperti tidak ada batasnya.

Jenis kelamin dari janji-janji itu pun acap beragam sifat dan tabiatnya. Sehingga sering ditampilan secara terselubung, sehingga sublimasi wujudnya lebih abstrak, hingga lebih sulit terbilang dalam bilangan yang tepat. Artinya, sungguh tidak ada kepastian yang bisa dijadikan patokan, seperti apa dan bagaimana wujud nyatanya, seperti rumitnya penulisan berita yang harus memenuhi syarat 5W + 1H (Apa, Siapa, kapan dan dimana hingga bagaimana terus ditambah mengapa yang perlu disertai jawabannya.

Dalam lelenguh penyanyi pun ada syair tentang seribu janji dari lidah yang tidak bertulang. Artinya, dari dalam mulut yang manis itu bisa diumbar seribu janji, meski akhirnya disudahi dengan janji yang cuma janji saja. Tak pernah ada wujud nyatanya.

Begitulah tragika dari obat yang terlambat diberikan. Karena orang yang sakit itu mungkin sudah mati. Sehingga tidak lagi memerlukan pengobatan, kecuali dikafani dan diantar dengan segenap do’a agar arwahnya dapat diterima di disi Tuhan. Dan ternyata dari kisah sepenggal ini sudah cukup menghantar kita untuk memasuki wilayah spiritual yang masih acap dianggap oleh banyak orang cukup rumit, bahkan wingit atau semacam klenik yang masuk dalam katagori sirik dan sejenisnya, termasuk bit’ ah.

Janji yang lebih gawat, bila sampai dibawa mati oleh yang bersangkutan, karena hutang (janji) kita itu belum juga bisa diselesaikan semasa hidup yang bersangkutan. Sebab bisa jadi masalah hutang piutang (janji) itu akan menjadi catatan pertanyaan di akherat oleh malaikat. Agaknya, karena itulah saat penguburan seseorang, dari pihak keluarga sering menyertakan pula pertanyaan saat memberi kata sepatah pada upacara pemakaman, bila hutang yang bersangkutan pada masa hidup, sangat dimohon untuk menghubungi keluarga. Lain cerita untuk siapa saja yang memiliki hutang dengan yang bersangkutan, maka dari pihak keluarga telah mengikhlaskan, bila tidak dapat dijadikan bagian dari pahala baginya.

Boleh jadi atas pertimbangan serupa inilah pemahaman terhadap janji yang dimaknai sebagai hutang sangat peka untuk dilakukan. Sehingga banyak hal selalu diwakili oleh ungkapan insyaallah. Sehingga janji yang dimaknai sebagai hutang, lantaran hutang itu sendiri penuh dengan janji-jani yang gampang dan mudah untuk ditepati atau bahkan bisa dengan mudah dikemplang, alias tidak dibayar. Jadi janji dan hutang itu sendiri rentan terhadap kejujuran. Apalagi keikhlasan.

Yang istimewa dan spesial adalah janji-jani yang termuat dalam kitan Perjanjian dari langit. Karena janji di dalamnya langsung menghunjam.ke kedalaman jiwa untuk ditaati mulai dari sendiri. Inilah nilai-nilai religiusitas dalam dimensi spiritual karena merupakan dasar yang harus ditaati mulai dari dalam diri sendiri. Baru kemudian dapat melangkah melalukan pengembaraan spiritual yang tiada batas itu. Karena kejujuran, kerendah-hatian merupakan disiplin utama yang tidak ada tawar-menawar. Bila gagal dan lalai, maka dengan sendirinya semua hajat dari laku spiritual itu menjadi gagal.

Perjanjian terhadap diri sendiri itu adalah komitmen yang mendasari keimanan Terhadap Tuhan Yang Maha Mutlak. Itulah sebabnya berpuasa itu menjadi bagian yang penting dan perlu dilakukan juga dalam setiap tahapan laku spiritual. Karena puasa bukan hanya sekedar untuk menjaga kedisplinan diri, tetapi keikhlasan dalam melakukan puasa adalah kejujuran yang harus dimulai oleh diri sendiri terhadap diri sendiri juga. Kejujuran dan kedisiplinan dalam menunaikan puasa itu — apalagi yang wajib seperti pada bulan Ramadhan itu — akan menjadi fondasi karakter yang kukuh dan kuat, tak hanya secara fisik, tetapi juga dalam urusannya dengan batin yang lega-lila. Pasrah hingga mencapai dimensi yang kaffah. Dan spiritualitas itu untuk membekali diri agar tangguh dan kuat dalam takaran batin yang prima.

Banten, 25 Desember 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *