Banten || Corongkita.com – Aspirasi Indonesia adalah perkumpulan Emak-emak genius yang aktif dalam berbagai bidang kegiatan untuk memaksimalkan peranan kaum wanita Indonesia dalam upaya membangun bangsa yang cerdas dan negara yang waras — sehat dan sejahtera — secara lahir dan batin. Juga lebih dari itu, keluarga Aspirasi Indonesia — yang dikomandani Wati Salam dan Jatiningsih, memiliki kepekaan sensitivitas sosial yang tinggi. Kepedulian terhadap rakyat yang tertindas, petani yang teraniaya hingga warga masyarakat yang sulit dalam pengertian ekonomi, disediakan wadah koperasi yang berinduk semang pada Aspirasi. Lantaran itu, markas besarnya di Jl. Pati, Menteng, Jakarta Pusat nyaris tak pernah sepi.
Selain itu, Aspirasi Indonesia terus gigih mengembangkan ikatan kekeluargaan dalam organisasi di berbagai daerah, satu program unggulannya memperjuangkan agar setiap tanggal 15 Maret di Indonesia dapat dijadikan hari libur nasional yang mengacu pada resolusi PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) tentang anti Islamophobia pada 15 Maret 2022. Sehingga setiap tanggal 15 Maret dapat dikenang sebagai gerakan dan kesadaran untuk direnungkan oleh segenap warga bangsa Indonesia untuk mewujudkan kehidupan yang penuh rahmat lil alamin serta mewujudkan amar ma’rif nahi munkar dengan khusuk dan tawadhu.
Penjelasan tentang Islamophobia yang diurai Bunda Wati Salam seperti yang dirilis secara meluas melalui media sosial (Group Aspirasi, 25 Desember 2024) cukup penting meski tidak lebih mendetail sehingga orang awam seperti saya dapat lebih paham ikhwal sebab musababnya seperti yang tidak cuma terjadi di Indonesia, tapi juga di berbagai negara lain di dunia.
Islamophobia sebagai ekspresi rasa takut atau prasangka yang tidak rasional terhadap agama Islam dan umatnya, patut ditelusuri sebab musababnya, mengapa mesti terjadi. Jika kita bisa fokus untuk mengurai rasa takut dan prasangka yang tidak rasional itu, mingkin bisa diusut ke kedalaman perilaku umat Islam itu sendiri yang telah menjadi penyebab Islam pun jadi ditakuti oleh berbagai pihak yang bisa diklaim kurang paham terhadap Islam maupun para umatnya.
Sesungguhnya, ajaran dan tuntunan Islam sendiri yang menekankan pada sikap sifat rendah hati, jika dilakukan dengan kesadaran dan keikhlasan yang sungguh tawadhu, agaknya sungguh mengherankan. Apalagi pemaknaan rahmatan lil alamin itu, tidak ada kecuali hanya bagi umat Islam sendiri. Begitu pula anjuran dalam Islam tentang amar ma’ruf nahi mungkar itu, jelas merupakan penuntun yang bersifat universal untuk dipraktikkan, dan juga dilakukan oleh saudara kita yang non Muslim.
Jadi salah pengertian yang berimbas pada kesalahan pemahaman terhadap tuntunan dan ajaran Islam ini memang bisa berujung pada kesalahan bersikap terhadap Islam cq umat Islam — yang sangat mungkin menjadi penyebab asal muasal — dari kekeliruan serta kesalahan bersikap lebih lanjut terhadap Islam akibat dari tampilan umat Islam yang dianggap tidak menenteramkan rasa maupun kenyamanan pihak lain.
Artinya, untuk memahami masalah Islamophobia, akan lebih bijak disikapi dengan ugahari. Misalnya melakukan koreksi diri terhadap cara menampilkan Islam sebagai identitas budaya yang sangat luas dan universal jangkaunya sebagai agama yang sempurna, meliputi jagat raya dan seisinya olah Allah SWT yang sekaligus memposisikan manusia sebagai khalifatullah — wakil Tuhan — di bumi.
Karena itu nilai kesetaraan harus mampu mengatasi masalah superioritas — apalagi di Indonesia yang mayoritas umut Islam — namun selalu terkesan “minoritas” dalam banyak hal, utamanya politik, ekonomi dan budaya serta gerakan kesadaran sosialnya yang sungguh sangat potensial, namun realitasnya selalu kalah dan tersisihkan seperti masalah Islamophobia itu sendiri yang justru tidak cukup mendapat respon positif dari umat Islam.
Dari aktivitas dan gerakan sosial yang tercatat dalam data Atlantika Institut Nusantara sejak tahun 1990, adanya kecenderungan dari model pergerakan yang over individual confidence atau sifat dan sikap untuk menampilkan diri sendiri, kelompok atau golongan yang sering terkesan selalu merendahkan pihak lain.
Itulah sebabnya pada ranah politik, partai Islam nyaris tidak bisa tampil, apalagi untuk diharap menjadi partai terdepan yang mampu menyuarakan aspirasi anggotanya yang cenderung cuma dijadikan kuda tunggangan. Demikian juga dalam organisasi pergerakan lainnya. Potensi umat Islam sendiri yang sesungguhnya bisa banyak belajar dari keberadaan ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU (Nahdatul Ulama) bisa menjadi cermin diri yang baik untuk bisa mempercantik tampilan yang rendah hati dan ugahari.
Definisi Islamophobia yang dirilis secara meluas oleh Wati Salam di berbagai media itu, sungguh menarik menjadi kajian yang lebih meluas, siapa tahu dari lingkungan terdekat sendiri belum cukup memahami bahwa penyebab Islamophobia itu (seperti yang telah diuraikan oleh Bunda Wati Salam pada point 1) memangnya pemahaman tentang tuntunan dan ajaran agama Islam yang sesungguhnya. Dan satu point penting lainnya adalah, kegagalan dialog antar agama dan budaya. Sehingga cukup patut untuk diduga, adanya anggapan bahwa pemikiran, pendapat serta keyakinan yang dicerna di dalam manset kita sendiri sesungguhnya sudah usang. Atau bahkan sama sekali keliru, sebab kita tidak pernah mau mendengar dan menyerap pendapat atau anggapan dari orang lain. Kendati premis mereka itu pun salah, dalam arti secara intelektual maupun dari perspektif spiritual yang cerdas serta mumpuni.
Karena itu, cara mengatasi Islamophobia, semua bentuk dan usaha pelaksanaan pendidikan dan pemahaman tentang Islam. Perlunya dialog antar agama dan budaya. Tentu saja yang tidak kalah penting adalah mengembangkan empati dan toleransi, dan membangun komunitas yang inklusif, tidak ekslusif.
Banten, 25 Desember 2024